JAKARTA, MAJALAHLACAK.COM – Gerakan Pramuka adalah organisasi kepanduan di tanah air yang semakin memantapkan perannya di era yang begitu mendunia. Peran tersebut diwujudkan dalam kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram yang dimulai dari satuan pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA/SMK).
Terlebih pada saat ini Kegiatan Kepramukaan diberikan “payung hukum” yaitu Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014 dengan tujuan antara lain melatih sikap disiplin, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, sikap agamis, dan dapat berkomunikasi.
Miss Ruliani salah satu dewan guru SDN 15 Pagi Cipete Utara yang juga sebagai pembina pramuka mengatakan bahwa “pentingnya disiplin bukan hanya dalam hal belajar, tetapi dalam segala lini agar kita semuanya menjadi insan yang menerapkan pola hidup disiplin, baik waktu maupun perbuatan.”
Untuk memeriahkan HUT Pramuka serta 17 Agustus diadakan berbagai pertandingan bagi siswa-siswa serta dewan guru dan kakak pembina. Wajah-wajah ceria tampak terlihat dilapangan.
Sementara itu, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (Kwarnas) telah menetapkan Tema dan Logo Hari Pramuka ke-63 Tahun 2024 sesuai dengan Surat Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor: 104 Tahun 2024 tentang Tema dan Logo 63 Tahun Gerakan Pramuka.
Adapun Tema Hari Pramuka ke-63 Tahun 2024 yang telah ditetapkan dalam keputusan tersebut adalah Pramuka Berjiwa Pancasila Menjaga NKRI.
Komponen logo terdiri dari angka 6 dan angka 3 yang merupakan angka Ulang Tahun yang ke-63. Angka 6 merupakan hasil stilasi dari Kelopak Tunas, serta angka 3 yang menopang Logogram Tunas menjadi satu kesatuan yang kokoh.
Mengutip laman resmi Pramuka, gerakan pramuka ini pertama kali muncul di zaman Hindia-Belanda. Bermula pada tahun 1912, yakni dimulainya latihan sekelompok pandu di Batavia (nama Jakarta pada masa penjajahan Belanda). Sekolompok pandu ini kemudian menjadi cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO).
Dua tahun kemudian cabang tersebut resmi berdiri dengan nama Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda. Sebagian besar anggota pandu NIPV merupakan keturunan Belanda.
Hingga di tahun 1916, berdirilah suatu organisasi kepanduan yang sepenuhnya merupakan pandu-pandu bumiputera. Gerakan pandu bumiputera ini didirikan oleh Mangkunegara VII, pemimpin Keraton Solo, yang diberi nama Javaansche Padvinders Organisatie.
Usai berdirinya Javaansche Padvinders, banyak organisasi kepanduan lain yang juga dibentuk, baik yang berbasis nasionalis maupun keagamaan. Seperti Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Kepanduan Bangsa Indonesia, Pandu Kesultanan, El-Hilaal, Pandu Ansor, Al Wathoni, dan lain sebagainya.
Organisasi kepanduan di kawasan Hindia-Belanda ternyata berkembang cukup baik. Kondisi tersebut akhirnya menarik perhatian dari Bapak Pandu Pramuka Dunia, yakni Lord Baden-Powell.
Pada awal Desember 1934, Baden-Powell bersama istri dan anak-anaknya mengunjungi organisasi kepanduan di beberapa kota Indonesia, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Beberapa tahun setelah kunjungan tersebut, di tanggal 27-29 Desember 1945 diadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta. Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa Pandu Rakyat Indonesia merupakan satu-satunya gerakan organisasi kepramukaan di Indonesia.
Namun, organisasi tersebut tidak bertahan lama. Ketika Belanda kembali mengadakan agresi militer di tahun 1948, gerakan Pandu Rakyat dilarang berdiri di daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda.
Karena itu gerakan kepanduan kemudian terus terbentuk. Setiap dibubarkan Belanda, organisasi kepanduan lain terus bermunculan, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Seiring perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian mencapai 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo). Jumlah yang banyak tersebut nyatanya tak memperkuat Perkindo lantaran ada rasa golongan yang tinggi.
Melihat hal tersebut, Presiden Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu merupakan Pandu Agung, mengusulkan untuk melebur berbagai organisasi kepanduan menjadi satu. Usulan tersebut pertama kali diungkapkan Presiden Soekarno ketika mengunjungi Perkemahan Besar Persatuan Kepanduan Putri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Tangerang, pada awal Oktober 1959. Saat itu, presiden pertama RI juga mengumpulkan tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan di Indonesia.
Ketika semua telah berkumpul, Soekarno menyatakan bahwa semua organisasi kepanduan yang ada akan dilebur menjadi satu dengan nama Pramuka.
Tepat pada tanggal 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka akhirnya diperkenalkan secara resmi kepada seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini disampaikan ketika sedang melaksanakan upacara di halaman Istana Negara.
Peresmian ini juga ditandai dengan penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, selaku Ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Panji tersebut lalu diteruskan kepada suatu barisan defile yang terdiri dari para Pramuka di Jakarta dan dibawa berkeliling kota.